FILSAFAT SEBAGAI METODOLOGI MENGENAL ALLAH

(Study Tentang: Dukungan Ilmu Filsafat Terhadap Agama Islam)  

Marni Malay 

Program Doktoral (S3) 

Jurusan Studi Agama Agama Kosentrasi Filsafat Agama

Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 

  

PENDAHULUAN

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, “philosophia”, artinya,” cinta kebijaksanaan”. Bijaksana merujuk pada sikap proposional, tepat menyikapi setiap keadaan dan peristiwa, mengandung unsur keadilan, kebenaran, dengan akal sehat, melahirkan perilaku yang tepat, sesuai dan pas. Kebijaksanaan tidak sama dan sebangun dengan kebenaran, benar saja tidak selalu bijaksana, contoh: Terhadap seorang pemulung misalnya, tidak bijaksana pabila menyapanya dengan sebutan, ”pemulung atau tukang pulung”, sekalipun benar dia  pemulung. Filsafat juga dipahami sebagai suatu sikap seseorang yang memikirkan dan melihat segala sesuatu secara mendalam, meluas, menyeluruh, segala hubungan, guna menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan, seperti asal-usul alam semesta, fenomenanya, demi terwujudnya kehidupan yang dicita-citakan. Karena itu filsafat dikatakan juga sebagai pandangan hidup (Way of life) manusia tentang kehidupan yang dicita-citakan (Weltsanchaung),  dasar setiap tindak dan prilakunya dalam menyelesaikan persoalan hidup. Filsafat sebagai pandangan hidup, mengandung asumsi setiap orang atau kelompok orang punya prinsip-prinsip ideal dalam berfikir, bersikap dan berprilaku.

Kenapa filsafat dapat dijadikan metodologi untuk mengenal Allah ? Dalam konteks ini, penting dipahami beda filsafat sebagai metodologi berfikir dan filsafat sebagai produk pemikiran. Berfikir secara filsafat adalah berfikir mendalam sampai pada hakekat kebenaran yang hendak dituju atau berfikir secara global, menyeluruh, dari berbagai sudut pandang pemikiran atau ilmu pengetahuan,  secara tepat dan benar sehingga hakikat kebenarannya dapat dipertanggung-jawabkan, karenanya berfikir secara filsafat mengisyaratkan adanya sistematisitas, konseptual, koheren, sinopatik, dan wajib rasional dalam memahami semua realita. Sedangkan filsafat sebagai produk pemikiran adalah  filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep, pemikiran-pemikiran para filsuf  yang lazimnya merupakan suatu aliran atau sistem filsafat tertentu, misalnya; rasionalisme, materialisme, pragmatisme dan sebagainya. Pembedaan ini penting, karena tidak jarang orang anti filsafat, mengkafir-kafirkan filsafat karena melihat filsafat sebagai produk pemikiran semata, mereka keliru  mengenggap filsafat telah disejajarkan dengan agama sebagai suatu yang sacral, bahwa firman Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan karya logika manusia. Sebaliknya, orang bisa sangat religius karena berfikir secara filsafat ketika sampai pada  titik pencapaian pemikiran bahwa alam ini tidak mungin terjadi begitu saja, pasti ada yang menjadikannya sebagai penyebab pertama. Atau orang bisa menjadi atheis karena berfikir secara filsafat, ketika dipuncak pemikiranya menyimpulkan  bahwa segala sesuatu pasti ada sebabnya dan tidak percaya pada penyebab pertama. Dan ada pula orang yang berfikir bahwa alam terjadi begitu saja. Filsafat sebagai alat atau metodologi berfikir untuk mengenal Allah lazimnya disebut teologi filosofiDalam hal ini bukan menyelidiki tentang Allah sebagai objek, tetapi eksistensi alam semesta yang diciptakan-Nya, karenanya irrelevan menghadapkan atau mensejajarkan filsafat dengan agama.

Meneliti filsafat berarti meneliti manusia sebagai satu-satunya mahkluk yang mempunyai akal sehingga mampu berfikir, menentukan corak kehidupan yang diinginkannya, mempertanyakan  asal-usul keberadaannya  dan  alam semesta, misalnya; mengapa saya ada, apakah terjadi kebetulan atau ada sesuatu yang membuatnya ada, kenapa saya lahir di Indonesia, dari orang tua bersuku Minang, Jawa, Bugis dan beragama Islam, Budha, Hindu dan seterusnya. Pada saat ini dimulailah aktifitas berfilsafat, yang tidak dapat dilakukan mahkluk hidup lain, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pencarian manusia tentang hakekat keberadaan-Nya dan alam semesta pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim, ia mempertanyakan kejadian siang dan malam, matahari, bintang, bulan dan sebagainya, termasuk fenomena bangsanya menyembah patung-patung kayu yang dipahat ayahnya, kemudian patung-patung tersebut dihancurkannya, sehingga raja Nabrut murka, lalu membakarnya.  Pencarian Ibrahim dijawab Allah dengan wahyu, sehingga Ibrahim yakin, asal Allah berkendak, api tidak mampu membakarnya, dan itulah yang terjadi, sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali dalam bukunya,Tahafut al- Falasifa”,;   Dunia ini berasal dari iradat  Tuhan, asal Allah berkehendak, api bisa tidak membakar, air bisa tidak membasahi, seperti tidak terbakarnya Nabi Ibrahim dalam api. Inilah filsafat ketauhidan Islam yang menggugurkan hukum kausalitas”.[1] Hal serupa dilakukan pula oleh Pangeran Sidharta Gautama dalam mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan; kenapa  orang sakit,  orang  mati, ada orang kaya, miskin dan sebagainya, lalu dia meninggalkan istana, bersemedi di bawah pohon budha, kemudian terciptalah agama budha. Meski dalam versi  berbeda, yang dilakukan  Ibrahim dan Pangeran Sidharta Gautama, adalah usaha mencari kebenaran sesuatu yang timbul akibat rasa tidak puas akan fenomena yang terjadi disekitarnya, membuktikan manusia selalu berfikir (berfilsafat), seperti Firman Allah:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”, (QS. Al-Baqarah ayat 164).

Ayat ini mengisyaratkan, kebenaran Tuhan hanya dapat dipahami oleh manusia yang berfikir. Bahwa manusia mencari kebenaran dengan akal (berfilsafat), dan agama menyampaikan kebenaran yang mesti ditangkap dengan akal pula. Ada dialektika atara keduanya, satu tujuan, yakni kebenaran. Konsekwensi logisnya, ketika filsafat dan agama bertemu akan saling menguatkan.  Dalam peradaban manusia, setiap suku bangsa, mulai dari struktur masyarakat tertutup (primitif) sampai yang terbuka (modern), mempunyai filsafat (pandangan hidup) sendiri sebagai konsep dasar untuk mewujudkan cita-citanya, berbeda satu dengan lainnya, seperti misalnya; “Pancasila”,  adalah Filsafat Negara Republik Indonesia, dirumuskan di alinia IV Pembukaan UUD 1945. Pancasila merupakan metodologi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam semua lini kehidupan, termasuk kehidupan beragama, dijabarkan dalam batang tubuh UUD1945 pasal 29, yang pada pokoknya berisi jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya.

Filsafat lahir di Militos, Yunani sekitar abat ke-6 SM, dipelopori oleh  Thales  yang mengatakan:“ Air adalah prinsip dasar   segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan. Air sebagai sumber kehidupan. Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup.” [2] Demikian teori filsafat awal yang semata berdasarkan logika semata, ketika manusia belum mengenal  Tuhan atau agama, namun akal manusia tidak puas dengan mitos-mitos tentang fenomena alam semesta yang dikaitkan dengan kuasa gaib, para dewa-dewi, selalu mencari jawaban tentang asal-usul dan fenomena. alam semesta. Berbagai pertanyaan tersebut terjawab berangsur-angsur, dalam waktu berabad-abad. Karenanya sejarah kelahiran filsafat disebut zaman peralihan dari mitos ke logos, yang kemudian dikenal sebagai Filsafat Yunani Kuno atau Filsafat Barat. Tiga filsuf Yunani Kuno terkenal; Socrates, Plato dan Aristoteles. Salah satu pemikiran Aristoteles:

Semua benda bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan” [3]  Sejarah tidak mencatat apakah ,”Theos”, yang dimaksud Aristoteles adalah Tuhan menurut suatu agama atau kepercayaan tertentu, ataukah hanya daya nalarnya semata yang sampai kepada pemikiran adanya Tuhan, Sang Pencipta Alam semesta. Filsafat Yunani Kuno berlangsung hingga  Zaman Klasik atau periode Helenistik. 

Pada periode Helenistik, ketika Iskandar Agung (Alexander the Great), menduduki Persia (331 SM), filsafat  berkembang ke dunia Timur yang menjadi benih-benih kajian filsafat masyarakat Muslim dikemudian hari. Bahwa penerjemahan besar-besaran  literatur-literatur keilmuan Yunani dan budaya lainnya ke bahasa Arab era Bani Abbasiyah (750-1250an M), berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat Islam klasik, dengan pelopornya Al-Kindi (Kufah, 185 H), sehingga lahir istilah filsafat Islam. Periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam. Dunia pemikiran Islam terfokus pada pendamaian antara filsafat dan agama atau akal dan wahyu, integrasinya sebagai landasan epistemologis, sehingga banyak cabang keilmuan tidak hanya bersifat teosentris, (merujuk dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadist), tetapi juga  antroposentris berlandaskan rasio dan empiris manusia tanpa menegasikan dalil  Al-Qur'an dan Hadist. Kajian filsafat Islam berlanjut ke filsafat peripatetic Eropa seperti; logika, metafisika, filsafat alam, dan etika. Periode ini melahirkan banyak filsuf, teolog, sekaligus ilmuwan besar seperti; Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Menurut Al-Kindi; Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan menjadi tujuan keduanya. Agama menggunakan wahyu dan akal, filsafat juga menggunakan akal.”[4]  Banyak yang tidak setuju istilah filsafat Islam dengan berbagai argumentasinya; tidak mungkin Islam itu filsafat, karena Islam itu agama, menuntut komitmen, kepasrahan, kepatuhan mutlak, sedang filsafat adalah kebebasan, pemikran kritis. Bahkan ada yang lebih keras; filsafat merusak Islam dengan karakter kebebasan berfikirnya.  Ada pula berpendapat sebaliknya; Islam merusak filsafat dengan tuntutan kepatuhan mutlaknnya dan asumsi asumsi keberagamaannya.

Menurut peneliti, manusia mempunya akal untuk berfikir,  hakekat filsafat berfikir, Islam melarang orang taklik, konsekwensi logisnya adalah filsafat sejalan dengan agama. Filsafat Islam juga  disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim. Pasca kematian Ibn Rusyd (abad ke-12 M), kajian filsafat Islam mulai meredup. Ada yang mengganggap Al-Ghazali  penyebab  kemunduran filsafat Islam dan lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak filsafat Islam.

Berkaitan tuduhan itu, Buya Hamka berpendapat berbeda; al-Ghazali  salah satu dari sedikit ulama yang mampu melawan filsafat dengan filsafat, mengembalikannya ke batasan yang dibenarkan agama. Kemajuan hanya bisa diraih jika  berani melahirkan pemikiran revolusioner dengan tetap berpegang pada agama serupa yang dilakukan al- Ghazali. Hanya dengan keilmuan seperti inilah umat Islam dapat kembali mencapai kedigdayaannya. Menurut Hamka : ”Jika membuktikan keberadaan Tuhan begitu sulitnya, maka  menyatakan ketiadaannya,  lebih sulit lagi,  ujung dari filsafat tidak lain dari mengumpulkan berbagai pemikiran tentang dua soal, yaitu ada dan tiada. Sejauh apa pun filsafat berkembang, tidak keluar dari dua persoalan tersebut. Jika keduanya tidak lagi dibicarakan, bukan berarti soal tersebut sudah tidak ada. Inilah batas kemampuan akal manusia.” [5] Tampak, Buya HAMKA sangat memahami alur berfikir Al-Ghazali; keterbatasan mahkluk berhadapan dengan Sang Pencipta sesungguhnya dapat dijabarkan dengan logika berfikir atau filsafat, tidak mungkin manusia dapat menjangkau Allah dengan memakai logika yang terbatas, namun keberadaan-Nya dapat dirasakan oleh mereka yang berfikir.  Hal ini relevan dengan ungkapan Abu Bakar Sidiq, sahabat nabi,  khalifah Islam pertama: “ Jalan mengenal Allah bagi mahkluknya adalah dengan jalan meyakini bahwa manusia tidak mungkin bisa mengenal-Nya. “. Demikian pula yang disampaikan oleh Dr. Fachruddin Faiz dalam sebuah cermahnya di youtobe; “Apapun fikiranmu, pendapatmu, gambaranmu tentang Allah, Dia tidak seperti itu (Teori Negasi). Dan secara filosofi ini lah makna sesungguhnya dari Surat Al-Ihklas ayat 4 yang artinya: “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan dia”.

Perkembangan filsafat Islam dapat dibagi dalam tiga periode; Periode Klasik diperhitungkan sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke-13 (650-1250 M), Periode Pertengahan (1250-1800 M) dan Periode Modern atau kontemporer (tahun 1800- sekarang). Beberapa tokoh berpengaruh dalam filsafat Islam kontemporer; Muhammad Iqbal, Fazhur Rahman, Syed Muhammad Naquid al-Attas dan Buya HAMKA.

Selanjutnya Firman Allah dalam Al-Quran yang berkaitan dengan aktifitas berfikir sebagai karakter utama manusia, disebutkan setidaknya tidak kurang dari 49 kali, yang semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan tidak satupun kata akal (‘aql) digunakan dalam bentuk kata benda (isim). Hal ini mengisyaratkan bahwa akal adalah sebuah proses berfikir yang berkesinambungan tanpa henti, sebab  akal tidak akan memiliki makna kalau tidak digunakan.\

Banyak firman Allah mensifatkan orang-orang yang tidak berfikir sama dengan binatang dan bahkan lebih hina, seperti:

“Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi (hukum dan ketetapan) Allah, ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mau memahami sesuatupun (dengan akal fikirannya).” (QS. Al-Anfâl: 22);

Perumusan Masalah

1Kenapa manusia berfilsafat ?

2. Kenapa manusia selalu berfikir tentang alam samesta ?

3. Kenapa dengan filsafat manusia dapat mengenal Allah ?

Kerangka Pemikiran 

Bagaimana menjadikan filsafat sebagai alat atau metodologi untuk mengenal Allah sang Pencipta alam semesta, dan lebih fokusnya bagaimana dialektika dan atau  dukungan filsafat terhadap agama Islam. Karena itu secara berurutan dan sistematis diperlukan kajian yang menyeluruh dan mendalam tentang: pengertian, historis, teori-teori dan perkembangan filsafat mulai dari Filsafat Yunani Kono sampai dengan filsafat Islam Kotemporer, serta pendapat tokok tokoh filsafat dan agama (Ulama) serta permasalahan atau konflik-konflik yang terjadi  berkaitan dengan itu, kemudian peneliti akan melakukan penelaahan guna menguji kebenarannya sesuai dengan perumusan masalah, terakhir membuat kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.  

Pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah; apakah filsafat itu ?. Para ahli filsafat memberikan pengertian beragam tentang filsafat. Hal ini terjadi karena masing-masing filsuf itu mempunyai konsep yang berbeda dan memiliki dasar pemikiran yang berbeda pula. Secara triminologi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, kata majemuk, “philo dan sophia, artinya “cinta kebijaksanaan”. Sedangkan pengertian filsafat secara harfiah adalah  kajian masalah mendasar dan umum tentang persoalan seperti eksistensi pengetahuan, nilai-nilai, akal, fikiran dan bahasa. Istilah ini  pertama kali diungkapkan oleh Pythagoras (570-495 SM). Selanjutnya, filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Filsafat juga sering dipahami sebagai pandangan mendalam tentang pertanyaan pertanyaan dalam kehidupan manusia, sehingga filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak. 

Lahirnya filsafat (abad ke-6 SM), dilatar belakangi oleh rasa keingin-tahuan manusia atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawaban, yang disebut juga sebagai zaman peralihan dari mitos ke logos. Sebelumnya, banyak orang  bercerita tentang alam semesta dan kejadian di dalamnya terjadi berkaitan kuasa gaib, seperti adanya kuasa para dewa-dewi. Mitos-mitos seperti ini kerap sekali ditemukan di dalam sastra-sastra Yunani. Akal manusia tidak puas dengan keterangan dongeng atau mite-mite dan mulai mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu, pertanyaan mana terjawab secara berangsur-angsur, dalam kurun waktu berabad-abad. Para pemikir filsafat  pertama antara lain: Thales dari Miletus (624-548 SM), Anaximenes (585-528 SM), Herakleitos  (540-480 SM),   Phytagoras  (580-500 SM),  Demokritos (460-370 SM)[6], kemudian dikenal sebagai Filsafat Yunani Kuno atau Filsafat Barat,  berlangsung hingga pada Zaman Klasik atau pada periode Helenistik.  Methode yang digunakan dalam filsafat dengan mengajukan pertanyaan, diskusi kritikal, dialiktik dan presentasi sistimatik, dan lain-lain. Pertanyaan filosofis klasik antara lain: Apakah memungkinkan untuk mengetahui segala sesuatu dan membuktikannya, Apa yang paling nyata ? Apakah ada cara terbaik untuk hidup? Apakah lebih baik menjadi adil atau tidak adil ?  Apakah manusia memiliki kehendak bebas ? Apabila dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh beberapa pemikir Yunani tersebut, mereka dapat digolongkan sebagai filsuf. Bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang digunakan untuk memahami hakikat segala sesuatu dalam alam atau hakikat dari realitas yang ada dengan menggunakan akal, karenanya, mereka dapat dikatakan  sebagai ahli-ahli filsafat alam. Pandangan-pandangan dan argumentasinya para filsuf di atas diharapkan akan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang filsafat, karena mereka  telah melakukan pemikiran atau perenungan untuk menjawab pertanyaan yang mereka kemukakan secara mendasar, berpikir keras mendasar dan kritis, berdialog dengan diri sendiri untuk memperoleh makna atau hakikat sesuatu.  Secara historis, filsafat mencakup inti dari segala pengetahuan. Dari zaman filsuf Yunani Kuno hingga abad ke-19; filsafat alam, melingkupi astronomi, kedokteran dan fisika. Sebagai contoh, Prinsip Matematika, Filosofi Alam karya Newton pada tahun 1687 di kemudian hari diklasifikasikan sebagai buku fisika. Pada abad ke-19, perkembangan riset universitas modern mengantarkan filsafat akademik dan disiplin lain terprofesionalisasi dan ter dan terspesialisasi. Pada era modern, beberapa investigasi yang secara tradisional merupakan bagian dari filsafat telah menjadi disiplin akademik yang terpisah, beberapa diantaranya, psikologi, sosiologi dan ekonomi. Investigasi lain yang terkait erat dengan seni, sains, politik, dan beberapa bidang lainnya tetap menjadi bagian dari filsafat. Sub-bidang utama filsafat akademik diantaranya metafisika (berkaitan dengan sifat dasar realitas dan keberadaan), epistemology (tentang asal-muasal dan bidang pengetahuan serta batas dan keabsahannya), etika, estetika, filsafat politik, logika, filsafat ilmu dan sejarah filsafat barat. Sejak abad ke-20, filsuf  profesional berkontribusi pada masyarakat terutama sebagai professor, peneliti, dan penulis. Namun, banyak dari mereka yang mempelajari filsafat dalam program sarjana atau pascasarjana berkontribusi dalam bidang hukum, jurnalisme, politik, agama, sains, bisnis dan berbagai kegiatan seni. Setelah memahami pengertian filsafat dari para filsuf filsafat alam, penting pula menelaah perkembangannya melalui pandangan yang dikemukakan oleh tiga filsuf besar pada masanya, yaitu; Socrates (469-399 SM),  Plato  (427-347 SM) dan Aristoteles  (384-322 SM). Pandangan tiga filsuf besar ini kemudian dikembangkan oleh para ahli filsafat pada  abad-abad selanjutnya. Mereka mengembangkan filsafat dengan jalan berpikir terus-menerus secara mendasar atau   radikal dengan tujuan menemukan akar permasalahan atau suatu realitas yang pada akhirnya dapat memperjelas realitas itu sendiri. 

Filsafat kemudian berkembang ke dunia Islam, dengan pelopornya Al-Kindi, sehingga lahir istilah filsafat Islam.  Al-Kindi mengatakan, bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Bahwa pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Banyak kalangan yang tidak setuju dengan istilah filsafat Islam dengan berbagai argumentasinya; bahwa tidak mungkin Islam itu filsafat, karena Islam adalah agama yang menuntut komitmen, kepasrahan, kepatuhan mutlak, sedangkan filsafat adalah kebebasan, pemikran kritis dan sejenis itu, ada yang lebih keras bilang filsafat merusak Islam dengan karakter kebebasan berfikirnya, ada juga yang bilang justru Islamlah yang merusak filsafat dengan tuntutan untuk kepatuhan mutlaknnya dan asumsi asumsi keberagamaannya. Untuk menjawab orang yang tidak setuju dengan  istilah filsafat Islam; yang jelas setiap manusia pasti berfikir, justru kalau tak ada filsafat agama tidak ada, karena hakekatnya filsafat adalah berfikir secara radikal, mendalam dan kritis, kalau orang tidak bisa berfiikir dia tidak akan bisa beragama, seperti misalnya, “orang gila”, dan bahwa ikut dan  kepatuhanpun pakai fikiran, makanya dalam Islam orang dilarang taklik, ketika orang dilarang taklik  berarti di suruh berfikir. Secara historis, perkembangan filsafat Islam dimulai oleh pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur (Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung (Alexander the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari. Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut menjadikan periode ini sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan keterbukaan umat Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat itu.  Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu pengetahuan dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan yang di kemudian hari berkembang lebih lanjut pada Abad Pencerahan di Eropa. Dunia pemikiran Islam kemudian semakin terfokus pada pendamaian antara filsafat dan agama ataupun akal dan wahyu, yang kemudian mempengaruhi semakin diusungnya integrasi antara akal dan wahyu sebagai landasan epistemologis yang berpengaruh pada karakter perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Kondisi tersebut memunculkan semakin banyaknya cabang-cabang keilmuan dalam dunia Islam, yang tidak hanya bersifat teosentris dengan merujuk pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber kebenarannya oleh para Mutakalim (ahli kalam), tetapi juga bersifat antroposentris dengan rasio dan pengalaman empiris manusia sebagai landasannya tanpa menegasikan dalil dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pada periode ini, dunia Islam menghasilkan banyak filsuf, teolog, sekaligus ilmuwan ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Kajian filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji lebih lanjut pandangan-pandangan perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti logika, metafisika, filsafat alam, dan etika, sehingga periode ini disebut sebagai periode peripatetik kajian filsafat Islam (Islamic/Arabic peripatetic school).   Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 M, kajian-kajian peripatetik dalam filsafat Islam mulai meredup. Terdapat banyak pendapat yang menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al- Falasifa dipandang penyebab lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Pandangan ini kemudian menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai seorang filsuf. Disamping ada pihak yang menuduh Al-Ghazali penyebab kemunduran kajian filsafat Islam, banyak pula kritik terkait kajian filsafat Islam dikalangan Islam, mereka  menentang filsafat karena dianggap tidak Islami, antara lain: Situs jejaring populer terkait paham Salafi, IslamQA (dikelola oleh Syekh Muhammad Shaleh al-Munajjid di Arab Saudi) menyatakan ilmu filsafat merupakan "entitas asing" dalam Islam dan mengklaim bahwa mayoritas ahli fiqh telah menyatakan  pembelajaran filsafat merupakan sesuatu yang haram dalam Islam dengan mengutip pendapat Al-Ghazali: "empat cabang"  ilmu filsafat (geometri dan matematika, logika, teologi, dan ilmu pengetahuan alam) ", melawan syariat Islam dan kebenaran", terkecuali untuk ilmu medis, "tidak ditemukan kebutuhan untuk dilakukannya pembelajaran terhadap ilmu alam". Maani' Hammad al-Juhani, (anggota dewan konsultasi dan direktur umum dari Perkumpulan Pemuda Muslim Dunia), menyatakan; kajian ilmu filsafat tidak mengikuti pedoman moral dari Sunnah, "ilmu filsafat, didefinisikan  para filsuf, salah satu kepalsuan paling berbahaya dan kejam dalam pertempuran iman dan agama terhadap dasar logika, sangat mudah digunakan untuk membingungkan orang dengan nama akal, interpretasi, dan metafora yang kemudian mendistorsi makna dari teks-teks keagamaan".Kemudian Ibnu Abi al-Izz (seorang penafsir Al-Tahhaawiyah), mengutuk para filsuf sebagai orang-orang yang paling menyangkal kebenaran dari Hari Akhir, bahwa dalam pandangan mereka Surga dan Neraka tidak lebih dari perumpamaan yang dibutuhkan agar konsep agama dipahami masyarakat, surga dan neraka bukan merupakan sesuatu yang nyata."[7] 

Pada filsafat Islam kontemporer, peneliti berpendapat penting untuk menampilkan pandangan Buya Hamka.  Hamka dikenal memiliki etos belajar otodidak yang sangat tinggi. Selain mengkaji kitab-kitab para ulama, ia pun banyak meneliti karya-karya filsuf Barat. Pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles, hingga Tao dari negeri Cina dijadikannya bahan perbandingan dalam membahas soal-soal ajaran Islam.[8] Selanjutnya peneliti juga akan  menelaah Firman Allah, terutama  berkaitan dengan aktifitas berfikir manusia, disebutkan setidaknya tidak kurang dari 49 kali, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il) dan tidak satupun kata akal (‘aql) digunakan dalam bentuk kata benda (isim). Ini mengisyaratkan bahwa akal adalah sebuah proses berfikir yang berkesinambungan tanpa henti, akal tidak akan memiliki makna kalau tidak digunakan. Dalam banyak ayat Allah mensifatkan orang-orang yang tidak berfikir sama dengan binatang dan bahkan lebih hina, seperti: “Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang melata, pada sisi (hukum dan ketetapan) Allah, ialah orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mau memahami sesuatupun (dengan akal fikirannya).” (QS. Al-Anfâl: 22);


[1] Al Ghazali Imam, Kerancuan Filsafat Tahafut Al Falasifah, Penterjemah Achmad Maimun,, Pustaka Pelajar Grup, Jokjakarta,  2015, ISBN : 9786025024559.

[2] Kurniawan, Filsafat Dari Masa Ke Masa Menggali Buah Kebijaksanaan Para Filsuf, Deepublish,  Yokyakarta, 2020, ISBN:   978-623-02-1783-8.

[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 Slide Muchsin, yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UNTAG (Universitas 17 Agustus) Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 200

[4] Faiz Fachruddin, Ngaji Filsafat 37 : Filsafat Islam - Pra Wacana, 18 Jan 2020 https://www.youtube.com/watch?v=ccB5H3C2Oq0&t=4152s

[5] Akmal Syafril,Alumnus Program Kader Ulama DDII-Baznas, Buya Hamka dan Filsafat, https://www.republika.co.id/berita/qidnnc430/buya-hamka-dan-filsafat, Ahad 18 Oct 2020.

[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Cet.XVI, 2003 Slide Muchsin, yang di sampaikan pada mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UNTAG (Universitas 17 Agustus) Surabaya angkatan ke 18 tanggal 11 November 200

[7] Achmad, Gholib (2009). Filsafat Islam. Pamulang, Jakarta: Faza Media. ISBN 978-602-8033-28-2.

[8] Akmal Syafril,Alumnus Program Kader Ulama DDII-Baznas, Buya Hamka dan Filsafat, https://www.republika.co.id/berita/qidnnc430/buya-hamka-dan-filsafat, Ahad 18 Oct 2020 10:14 WIB

Komentar